Cari Blog Ini

Selasa, 16 Oktober 2012

Desa Budaya, Bingkai Kearifan Lokal

Desa budaya sampai saat ini masih bisa kita temui di berbagai penjuru tanah air, termasuk di Jawa Barat, sebut saja Kampung Naga (Tasikmalaya), Kampung Kuta (Ciamis), dan Kampung Kasepuhan Ciptagelar (Sukabumi). Tiwi Purwitasari, peneliti di Balai Arkeologi Bandung menyatakan bahwa komunitas yang masih teguh melaksanakan berbagai upacara adat dan tradisi, biasa disebut dengan masyarakat budaya. Sementara desa tempat tinggal mereka disebut desa budaya. (Tiwi Purwitasari, 2010: 119).

Sejalan dengan pemikiran Melville J Herkovits dan Bronislow Malinowski yang menggagas teori mengenai Cultural Determinism (Determinasi Budaya). Dalam teorinya, Melville J Herkovits dan Bronislow Malinowski mengatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh adanya kebudayaan yang dimiliki masyarakat tersebut. Pernyataan ini dipertegas oleh Soejono Soekamto yang menyatakan bahwa masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian, tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai bingkai dari potret budaya tersebut. (Soejono Soekamto, 1987: 154).

 Kasepuhan Ciptagelar (Sukabumi)
Bertolak dari hal tersebut, penulis mencoba mengurai kembali mengenai desa budaya di daerah Jawa Barat, yang notabene masyarakat adat Jawa Barat biasa disebut masyarakat Sunda tentunya dengan tidak menampikan masyarakat pantura Cirebonan.

Adanya banyak wilayah di Jawa Barat yang kehidupan masyarakatnya masih melakukan tata cara dan budaya Sunda, sebut saja Kampung Naga (Tasikmalaya) yang memegang prinsip hidup kesederhanaan mereka 'teu saba teu soba, teu banda teu boga, teu weduk teu bedas, teu gagah teu pinter (tidak kemana-mana, tidak menguasai siapapun, tidak berharta tidak punya apa-apa, tidak kebal tidak kuat, tidak gagah tidak pintar).

Jika diartika lebih dalam, kalimat diatas menyatakan bahwa masyarakat Kampung Naga tidak memiliki kelebihan apapun yang merupakan pangkal dari kesederhanaan mereka. Yang mereka punya adalah cinta, daripada hidup bermewah-mewahan punya segalanya tapi sengsara seperti para koruptor. Begitu pun masyarakat kampung Kuta (Ciamis), mereka memiliki pepakem (ketentuan) sendiri untuk tunduk patuh pada hukum sebagai bentuk taat aturan di adat mereka dalam ngancik di karamat Kuta Jero. Ungkapan tradisional berupa tabu atau pamali merupakan adat yang harus ditaati, dipatuhi, dan diyakini keberadaannya, baik bagi masyarakat pendukungnya maupun bagi masyarakat di luar pendukungnya.

Hukum memang ialnya dibuat bukan untuk dilanggar. Potret lain dari desa budaya bisa kita lihat di masyarakat Kampung Kasepuhan Ciptagelar (Sukabumi) yang menghormati leluhurnya dalam konsep Pancer Pangawinan sebagai ketaatan kepada orang tua dan pendiri kampung. Contoh di atas merupakan bagian dari prototipe orang Sunda yang hidup sederhana, penuh cinta damai, tidak menjajah, tidak korupsi, taat pada aturan hukum, menghormati para pejuang, leluhur, dan orang tua.

 Kampung Naga (Tasikmalaya)
Bentuk perkampungan pada masyarakat di suatu desa budaya juga biasanya masih mempertahankan bentuk fisik, dengan ciri bangunan berarsitektur tradisional dan pola pemukiman yang relatif tetap atau tidak mengalami perubahan bentuk yang mencolok dari waktu ke waktu. Secara filosofis dinisbatkan sebagai hidup yang ajeg, tetap, dan konsisten mempertahankan keyakinan. Citi bangunan tersebut terdapat pula di Kampung Naga (Tasikmalaya), Kampung Kuta (Ciamis), dan Kampung Kasepuhan Ciptagelar (Sukabumi).

Tanda spesifik bentuk bangunan rumah masyarakat desa budaya adalah bentuk rumah tempat tinggal yang menyatu dengan alam karena menggunakan bahan baku yang bersumber dari alam, seperti kayu, bambu, ijuk, dan dedaunan dalam makna yang lebih luas diartikan dengan bentuk penyatuan diri bertabur dengan alam dalam konsep kosmis penyatuan simbolik dengan sang pencipta.

Desa Budaya

Seiring laju roda zaman, eksistensi desa-desa budaya yang ada di Nusantara, khususnya di Jawa Barat dipertanyakan kembali tentang kearifan adat istiadat, unggah-ungguh bahasa dan keasrian prinsip-prinsip yang menjadi dasar keseharian kehidupan mereka dalam membentuk individu bermoral. Apakah kini sudah kikis oleh perkembangan zaman modern ataukah masih tetap asri mempertahankan kearifan budaya lokal tersebut.

Pertanyaan ini penting bagi kita yang hidup di era masyarakat mesin yang menjastifikasi diri lebih modern dan lebih maju dari mereka. Diakui atau tidak, manusia sebagai makhluk sosial masih membutuhkan panduan dalam konsep tatakrama hidup bersosial, walaupun pada hakikatnya manusia sebagai makhluk hidup memiliki kelenturan, yang memungkinkan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Saya membayangkan, desa budaya merupakan bagian dari pepakem Sunda dalam menyudahi problem bangsa dengan solusi tatanan struktur budaya yang harmonis dan kesederhanaan hidup yang alami dan normal. Kalaupun tidak, studi desa budaya dapat dinisbatkan sebagai bagian dari embrio keadaan bangsa dalam menemukan kembali dirinya dalam cermin budaya lokal.

Perspektif persoalan yang bersangkutan dengan niat baik dalam konsep tata ruang, adat istiadat, mata pencaharian, filosofi, dan unsur-unsur kebudayaan lainnya. Karena para arkeolog dan sejarawan bersepakat bahwa pada desa budaya, tradisi yang ada dalam suatu masyarakat menjadi suatu pilar yang berakar kuat serta ditaati secara terus menerus dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi itu terus berlangsung karena didapat dengan belajar serta disosialisasikan kepada seluruh anggota masyarakat dan pada akhirnya menjadi budaya yang mewarnai kehidupan keseharian masyarakat di desa budaya tersebut. Tidak hanya berkaitan dengan pertanyaan kembali pada kebudayaan modern yang lebih canggih dan menjanjikan, sumbangan berharga daru khasanah kearifan lokal terhadap hari esok kebudayaan manusia dalam arti yang lebih menusantara justru lebih menanjikan.

Lebih jauh lagi kampung atau pemukiman tradisional yang masyarakatnya masih mempertahankan tradisi, secara rasional pasti di dalamnya terdapat dimensi kebudayaan yang memegang peranan penting sebagai nyawa dari kultur kampung. Dalam masyarakat desa budaya nilai-nilai kearifan lokal dipelajari dengan cara mentransformasikan dari orang tua kepada anaknya. Masyarakat dalam hal ini harus berperan aktif dan manjadi pendukung kelangsungan suatu desa budaya dan tetap harus menjaga dan melestarikan berbagai tradisi dan kearifan lokal yang berlangsung turun temurun sebagai warisan budaya yang sakral. Berbagai aspek kehidupan masyarakat desa budaya merupakan potensi yang harus dikembangkan lebih lanjut, karena merupakan asset pengembangan pariwisata.

Kehidupam masyarakat desa budaya yang memegang teguh nilai-nilai adat yang arif sudah seharusnya direalisasikan oleh masyarakat modern yang jauh dari tatanan moral, sewajarnya apabila masing-masing kita mengamini sesuatu yang dianggap baik diaktualisasikan dengan tingkah laku di kehidupan sosial berbangsa. Dengan ini diharapkan prinsip-prinsip hidup Sunda, yaitu cageur (sehat jasmani rohani), bageur (benar dalam bertindak dan bertingkah laku), dan pinter (pandai dalam bergaul, memutuskan sikap, bijaksana, berilmu dan berpengetahuan luas).

Semoga dengan kajian yang lebih mendalam dan dokumentasi yang lebih lanjut tentang keunikan desa budaya bisa lebih bermanfaat.

(Wahyu Iryana, pengajar di Jurusan Sejarah Peradaban Islam, UIN Bandung)***



Sumber: Pikiran Rakyat Edisi Sabtu, 22 September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar