Hari-hari terakhir ini, sebutan "rohis" sering terdengar di kalangan masyarakat. Sejumlah siswa sekolah pun ada yang memelasatkan kata "rohis" menjadi "roh Iis". Bahkan organisasi yang anggotanya sebagian besar mantan aktivis "rohis", yakni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Kota Bandung, menggelar diskusi bertema "Rohis". Pembicaranya dari berbagai kalangan, termasuk unsur aparat keamanan. Lalu kenapa "rohis" jadu buah bibir?
Awalnya, pada pekan pertama September 2012, sebuah stasiun televisi swasta nasional menayangkan diskusi yang membahas tema "Rohis" dalam konteks isu terorisme. Konon, ada pengamat yang menyimpulkan keterkaitan antara kegiatan di "Rohis" dan perekrutan teroris muda. Yang menarik adalah mencermati pola "penarikan" kesimpulan sang peneliti tersebut.
Betapa tidak, eksistensi "rohis" atau "rohani Islam" memang ada di sekolah tngkat SLTP dan SLTA. Rohis sesungguhnya ada dalam struktur organisasi siswa intra sekolah (OSIS). Program kerja seksi rohis, antara lain, menyelenggarakan berbagai kegiatan keagamaan. Salah satunya berupa pesantren kilat (sanlat). Dana untuk merealisasikan program kerjanya diperoleh dari bantuan sekolah dan iuran siswa selaku anggota OSIS.
Seandainya Rohis dituduh sebagai wadah perekrutan teroris, tentu kesimpulan itu bisa dipastikan ngawur. Kegiatan Rohis ada dalam pengawasan dan bimbingan pembina OSIS atau wakil kepala sekolah. Penarikan kesimpulan bahwa lahirnya teroris muda berkaitan dengan eksistensi dan kiprah rohis, jelas mencerminkan penelitinya tidak tahu persis organisasi pelajar bernama OSIS. Lebih ironis lagi, bilamana logika penarikan kesimpulan ditarik ke yang lebih luas lagi, misalnya pendidikan tinggi. Pasti, banyak kampus yang layak disebut menjadi "sarang teroris" atau "wadah perekrutan teroris muda". Kenapa, karena banyak teroris muda, setengah muda, ataupun tua sang sempat mengenyam pendidikan di kampus.
Fenomena mudahnya oknum aparat keamanan menggeneralkan kasus teroris, bisa juga dianalogikan ke kasus kriminal lainnya seperti korupsi yang berdampak sistemik. Apakah tepat disimpulkan jika ada koruptor yang berasal dari kampus "x", lalu kampus "x" disebut sebagai sarang perekrutan koruptor? Jika ya, betapa banyak kampus yang menjadi sarang perekrutan koruptor. Bila koruptor yang berasal dari parpol "x", kemudian dikatakan bahwa parpol "x" adalah sarang koruptor?
Demikian halnya bila ada oknum polisi atau TNI yang jadi koruptor, apakah tepat dikatakan institusi Polri atau TNI merupakan sarang koruptor? Jadi, sdah sepatutnya kita tidak menggeser persoalan penegakan hukum kasus terorisme ke arah politik atau sentimen keagamaan tertentu. Berantaslah teroris dan wacanakan bahayanya secara objektif sesuai perundang-undangan.
Ya, termasuk kita perlu objektif mendefinisikan teroris. Maksudnya kita perlu konsisten menyebut teroris - sebagai perbuatan yang berbahaya dan membahayakan - pada perilaku "penyakit masyarakat", seperti miras, narkoba, merokok, perjudian dan sejenisnya. Jika konsisten, kita tidak akan menyaksikan ada oknum aparat keamanan pemberantas teroris yang juga layak disebut teroris karena bertugas sambil - merokok, atau terlibat miras, narkoba, dan sejenisnya - yang notabene termasuk teroris kesehatan. (Achmad Setiyaji/"PR")***
Awalnya, pada pekan pertama September 2012, sebuah stasiun televisi swasta nasional menayangkan diskusi yang membahas tema "Rohis" dalam konteks isu terorisme. Konon, ada pengamat yang menyimpulkan keterkaitan antara kegiatan di "Rohis" dan perekrutan teroris muda. Yang menarik adalah mencermati pola "penarikan" kesimpulan sang peneliti tersebut.
Betapa tidak, eksistensi "rohis" atau "rohani Islam" memang ada di sekolah tngkat SLTP dan SLTA. Rohis sesungguhnya ada dalam struktur organisasi siswa intra sekolah (OSIS). Program kerja seksi rohis, antara lain, menyelenggarakan berbagai kegiatan keagamaan. Salah satunya berupa pesantren kilat (sanlat). Dana untuk merealisasikan program kerjanya diperoleh dari bantuan sekolah dan iuran siswa selaku anggota OSIS.
Seandainya Rohis dituduh sebagai wadah perekrutan teroris, tentu kesimpulan itu bisa dipastikan ngawur. Kegiatan Rohis ada dalam pengawasan dan bimbingan pembina OSIS atau wakil kepala sekolah. Penarikan kesimpulan bahwa lahirnya teroris muda berkaitan dengan eksistensi dan kiprah rohis, jelas mencerminkan penelitinya tidak tahu persis organisasi pelajar bernama OSIS. Lebih ironis lagi, bilamana logika penarikan kesimpulan ditarik ke yang lebih luas lagi, misalnya pendidikan tinggi. Pasti, banyak kampus yang layak disebut menjadi "sarang teroris" atau "wadah perekrutan teroris muda". Kenapa, karena banyak teroris muda, setengah muda, ataupun tua sang sempat mengenyam pendidikan di kampus.
Fenomena mudahnya oknum aparat keamanan menggeneralkan kasus teroris, bisa juga dianalogikan ke kasus kriminal lainnya seperti korupsi yang berdampak sistemik. Apakah tepat disimpulkan jika ada koruptor yang berasal dari kampus "x", lalu kampus "x" disebut sebagai sarang perekrutan koruptor? Jika ya, betapa banyak kampus yang menjadi sarang perekrutan koruptor. Bila koruptor yang berasal dari parpol "x", kemudian dikatakan bahwa parpol "x" adalah sarang koruptor?
Demikian halnya bila ada oknum polisi atau TNI yang jadi koruptor, apakah tepat dikatakan institusi Polri atau TNI merupakan sarang koruptor? Jadi, sdah sepatutnya kita tidak menggeser persoalan penegakan hukum kasus terorisme ke arah politik atau sentimen keagamaan tertentu. Berantaslah teroris dan wacanakan bahayanya secara objektif sesuai perundang-undangan.
Ya, termasuk kita perlu objektif mendefinisikan teroris. Maksudnya kita perlu konsisten menyebut teroris - sebagai perbuatan yang berbahaya dan membahayakan - pada perilaku "penyakit masyarakat", seperti miras, narkoba, merokok, perjudian dan sejenisnya. Jika konsisten, kita tidak akan menyaksikan ada oknum aparat keamanan pemberantas teroris yang juga layak disebut teroris karena bertugas sambil - merokok, atau terlibat miras, narkoba, dan sejenisnya - yang notabene termasuk teroris kesehatan. (Achmad Setiyaji/"PR")***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar