Oleh: Atep Kurnia
Peneliti Literasi di Pusat Studi Sunda (PSS)
Karuhun Sunda telah menyatakan dengan tegas mengenai politik. Di dalam Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK, Saleh Danasasmita, dkk., 1987), mereka menyatakan, "Nya mana dikangkenkeun ku nu mawa bumi. Ya mangupati pra rama, resi, prabu, disri mwang tarahan" (Ya, diibaratkan oleh penguasa bumi. Ya, menjelma menjadi para rama, resi, ratu, disi dan tarahan). SSKK bukan satu-satunya yang menegaskan perihal pilar politik Sunda, melainkan ada beberapa. Kita dapat menelusurinya dari naskah Cerita Parahyangan (CP, Undang A Darsa & Edi S Ekadjati, 2003), Fragmen Carita Parahyangan (FCP, Undang A Darsa & Edi S Ekadjati, 2003), dan Sanghyang Sasana Mahaguru (SSMG, Aditia Gunawan, 2009).
Memang dilihat dari sisi intensitas kemunculannya, disri dan tarahan tidak sesering ketiga istilah lain. Oleh karena itu, dalam hal ini, ada baiknya melihat dulu peran disri dan tarahan itu. Istilah disri mengacu pada "ahli siasat/ramal" (SSKK, bagian XXVII) atau "dukun" (CP bagian XVIII), sementara istilah tarahan mengacu pada "tukang tambangan perahu" (SSKK XXVII) atau bajak laut (CP XVIII).
Sementara istilah rama, resi, ratu (atau kadang berganti dengan kata prebu) bisa dikatakan paling sering muncul di dalam naskah Sunda bila dikaitkan dengan penyelenggaran negara. Di dalam SSKK bagian III mereka dikaitkan dengan kata disi dan tarahan. Dalam FCP 2a mereka juga disebut. Misalnya dalam kutipan ini: "Sakitu panugraha sang prebu, rama resi ri sang tarahan". Demikian pulan dalam SSMG bagian 34, disebutkan: "Tri artanya inyana prebu, rama, resi".
Bahkan, dalam SSKK bagian XXVI disebutkan ketiga ponggawa negara itu sebagai Tri Tangtu di Bumi. Kutipan selengkapnya sebagai berikut: "Ini tri-tangtu di bumi. Bayu kita pinah ka prebu, sabda kita pinah ka rama, hedap kita pinah ka resi. Ya tritangtu di bumi, ya kangken pineguhning bwana ngarana". Pada bagian itu juga terbersit dewa-dewa mitologis Hindu, yang mencerminkan karakteristik masing-masing ponggawa negara itu. Wisnu ibarat prabu, Brahma ibarat rama, Isora ibarat resi (Wisnu kangken prabu, Brahma kangken rama, Isora kangken resi).
Selain itu, dalam FCP lampir 5b terdapat kutipan ajaran Maharaja Trarusbawa agar ketiga ponggawa negara itu teguh menjalankan peran mereka masing-masing, termasuk hak dan kewajiban mereka. Berikut kutipannya, "Sang resi ngagurat cai, sang rama ngagurat lemah, sang prebu ngagurat batu. Ngada ma diduumkeun ka sang resi, saha ma diduumkeun ka sang rama, bayu diduumkeun ka sang prebu".
Namun, dengan konsep Tri Tangtu di Bumi itu tidak lantas meniadakan peran dua ponggawa negara lain. Menurut SSKK, kelima ponggawa itu menjadi indikator kemakmuran dan kesejahteraan sebuah kerajaan. Oleh karena itu, "Teguhkeun pageuhkeun sahingga ning tuhu, pepet byakta warta manah. Mana kreta na bwana, mana hayu ikang jagat, kena twah ning janma kapahayu. ... sang tarahan pageuh di katarahanana, kreta; sang disi pageuh di kadisianana, kreta; sang prebu pageuh di kaprebuanana kreta" (SSKK, XXVI-XXVI).
Dengan kata lain, kutipan di atas menegaskan perihal pentingnya para pengelola negara untuk istikomah dalam tugas masing-masing. Bila tarahan teguh dalam "ketarahannya", dirsi dalam "kedirsiannya", rama dalam "keramaannya", resi dalam "keresiannya", dan prebu dalam "keprebuannya", kesejahteraan negara bakal teraih dan terjamin.
Oleh karena itu, seorang raja di dalam kerajaan Sunda seharusnya, seperti Maharaja Trarusbawa, Rakeyan Darmasiksa, dan Prabu Niskalawastu Kencana. Trarusbawa diidealkan karena dia yang memberi nasehat bahwa untuk mengambil keputusan penting negara seharusnya merupakan hasil ketetapan bersama antara rama, resi dan prebu. Dalam FCP, ia mencontohkan mengenai keputusan pembagian wilayah, pengambilan pamwatan (upeti dari penguasa wilayah ke penguasa pusat setiap tahun sebagai tanda setia).
Rakeyan Darmasiksa berhasil karena, "Nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan, tina parahiyangan. Ti naha bagina? Ti sang wiku nu ngawakan jati Sunda. mikukuh Sanghiyang Darma ngawakan Sanghiyang Siksa" (CP XVII). Atau dalam terjemahan bebasnya, mendirikan kabuyutan masing-masing untuk rama, resi, disri, tarahan, dan wiku.
Demikian pula Prebu Niskalawastu Kencana yang dianggap berhasil menyelenggarakan negara karena menjalankan aturan agama dengan baik sehingga "Nya mana sang rama enak mangan, sang resi enak ngaresisasana, ngawakan na purbatisti, purbajati. Sang distri enak masini ngawakan na manusasana, ngaduman alas pari-alas. Ku beet hamo diukih. Nya mana sang Tarahan enak lalayaran ngawakan manurajasasana" (CP XVIII). Kutipan tersebut menggaris-bawahi tanggung jawab sang raja untuk menjamin ketentraman dan kenyamanan perikehidupan resi, disri dan tarahan dalam menjalankan tugas mereka masing-masing.
Dengan pernyataan-pernyataan dari naskah Sunda kuno di atas, maka itu bisa jadi semacam suara tambahan bagi gelora umum yang menyebutkan bahwa orang Sunda hanya mengenal konsep trias politica dalam hal penyelenggaraan negara. Menurut saya, bahkan jauh sebelum adanya trias politica, orang Sunda sudah memikirkannya seraya menambahkan mengenai pentingnya peran ahli strategi dan kelautan dalam lingkup pengelolaan negara.***
Sumber: Pikiran Rakyat Edisi Sabtu, 22 September 2012
Dengan kata lain, kutipan di atas menegaskan perihal pentingnya para pengelola negara untuk istikomah dalam tugas masing-masing. Bila tarahan teguh dalam "ketarahannya", dirsi dalam "kedirsiannya", rama dalam "keramaannya", resi dalam "keresiannya", dan prebu dalam "keprebuannya", kesejahteraan negara bakal teraih dan terjamin.
Oleh karena itu, seorang raja di dalam kerajaan Sunda seharusnya, seperti Maharaja Trarusbawa, Rakeyan Darmasiksa, dan Prabu Niskalawastu Kencana. Trarusbawa diidealkan karena dia yang memberi nasehat bahwa untuk mengambil keputusan penting negara seharusnya merupakan hasil ketetapan bersama antara rama, resi dan prebu. Dalam FCP, ia mencontohkan mengenai keputusan pembagian wilayah, pengambilan pamwatan (upeti dari penguasa wilayah ke penguasa pusat setiap tahun sebagai tanda setia).
Rakeyan Darmasiksa berhasil karena, "Nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan, tina parahiyangan. Ti naha bagina? Ti sang wiku nu ngawakan jati Sunda. mikukuh Sanghiyang Darma ngawakan Sanghiyang Siksa" (CP XVII). Atau dalam terjemahan bebasnya, mendirikan kabuyutan masing-masing untuk rama, resi, disri, tarahan, dan wiku.
Demikian pula Prebu Niskalawastu Kencana yang dianggap berhasil menyelenggarakan negara karena menjalankan aturan agama dengan baik sehingga "Nya mana sang rama enak mangan, sang resi enak ngaresisasana, ngawakan na purbatisti, purbajati. Sang distri enak masini ngawakan na manusasana, ngaduman alas pari-alas. Ku beet hamo diukih. Nya mana sang Tarahan enak lalayaran ngawakan manurajasasana" (CP XVIII). Kutipan tersebut menggaris-bawahi tanggung jawab sang raja untuk menjamin ketentraman dan kenyamanan perikehidupan resi, disri dan tarahan dalam menjalankan tugas mereka masing-masing.
Dengan pernyataan-pernyataan dari naskah Sunda kuno di atas, maka itu bisa jadi semacam suara tambahan bagi gelora umum yang menyebutkan bahwa orang Sunda hanya mengenal konsep trias politica dalam hal penyelenggaraan negara. Menurut saya, bahkan jauh sebelum adanya trias politica, orang Sunda sudah memikirkannya seraya menambahkan mengenai pentingnya peran ahli strategi dan kelautan dalam lingkup pengelolaan negara.***
Sumber: Pikiran Rakyat Edisi Sabtu, 22 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar