Cari Blog Ini

Kamis, 14 Maret 2013

Ibadah Haji sebagai Rukun Islam yang Kelima

Ibadah haji adalah penyempurnaan dari rukun Islam. Ibadah haji sifatnya wajib bagi yang mampu melaksanakannya. Ibadah haji yang mencapai puncaknya pada tanggal 8, 9, dan 10 Zulhijjah ini memiliki rukun yang wajib dikerjakan dengan tertib yang menjadi syarat sahnya sebuah ibadah.

Rukun pertama ibadah haji adalah berniat dan berikhram. Niat adalah pertanda bahwa seorang hamba memfokuskan fikiran dan tenaganya semata hanya untuk beribadah kepada Rabb-nya. Pakaian haji adalah sebuah pakaian khusus yang disebut dengan kain ihram yang merupakan dua potong kain putih tanpa jahitan yang digunakan untuk menutupi seluruh bagian tubuh. Warna putih adalah penggambaran falsafah kesucian, kebersihan dan cerah. Kesucian hati saat berihram bisa diartikan sebuah sifat ikhlas dalam diri manusia. Ikhlas berarti berupaya memberikan yang terbaik tanpa mengharapkan balasan. Tetapi Alloh yang maha adil telah menjajikan pahala yang besar bagi hambanya yang ikhlas dalam berhaji.

Seluruh umat muslim dari berbagai penjuru bumi akan berkumpul dan menggunakan kain ihram yang sama. Hal ini bisa diartikan bahwa seluruh manusia adalah sama di mata Alloh, tidak dibedakan dari ras, kekayaan, jabatan, dan keturunannya. Nilai ibadah dan ketakwaannya sajalah yang akan mampu mengangkat harkat dan derajat manusia di hadapan-Nya.

Kain ihram yang merupakan kain tanpa jahitan juga merupakan simbolisasi sifat sederhana. Kehidupan duniawi yang bergelimang harta seakan tak berarti ketika sedang ihram. Sekaya apapun seorang muslim, ia diwajibkan menggunakan pakaian yang sderhana ini demi meraih kemabruran dalam ibadah haji.

Rukun kedua dalam ibadah haji adalah wukuf. Prosesi wukuf pada dasarnya adalah menempatkan diri di padang arafah selepas waktu dzuhur pada tanggal 9 Zulhijjah hingga sebelum datang waktu fajar di keesokan harinya.

Wukuf memiliki hikmah yang akan mengingatkan kepada kita akan proses hisab yang akan dilakukan di padang Mahsyar di akhirat nanti. Wukuf mengingatkan kita bahwa segala kebaikan dan kemunkaran yang kita lakukan sepanjang hidup di dunia akan dihitung oleh Alloh Yang Maha Adil dan Sempurna. Simbolisasi wukuf pada dasarnya merupakan masa transisi dari seorang manusia untuk meninggalkan perbuatan buruk dan mengerjakan kebaikan dan kemuliaan sesuai dengan tuntunan yang digariskan dalam Islam. Akhir dari masa transisi itu merupakan perubahan pada jemaah haji. Salah satu pertanda bahwa ibadah haji seorang muslim mabrur adalah perubahan sifatnya yang menjadi lebih baik.

Rukun haji selanjutnya adalah thawaf. Demi mencapai kesempurnaan ibadah, seorang jemaah haji harus melakukan thawaf atau mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali.

Ka’bah adalah kiblat dan pusat kaum muslim. Thawaf merupakan simbolisasi keselarasan alam sebagaimana seluruh pelanet, bintang dan satelit dalam sistem tata surya berputar sesuai dengan poros atau sumbunya. Thawaf juga mengajarkan manusia untuk senantiasa hidup selaras dengan alam sehingga tidak membuat kerusakan.

Seorang jemaah haji pasti akan melakukan sa’i dalam rangkaian ibadahnya. Pelaksanaan sa’i pada dasarnya mencerminkan ketangguhan seorang Siti Hajar dalam memperjuangkan hidupnya dan bayinya. Demi mencarikan air untuk buah hatinya, istri Nabi Ibrahim ini harus berlari bolak-balik melintasi Bukit Shafa dan Marwa sebanyak tujuh kali. Jika kita renungkan, hikmah dari prosesi sa’i adalah ketangguhan diperlukan dan menjadi kunci sukses seorang muslim. Kehidupan pastilah tidak selalu mendatangkan kemudahan. Kesulitan, ujian dan cobaan akan senantiasa datang silih berganti. Oleh karena itu, seorang muslim harus memiliki keteguhan dan ketangguhan hati untuk memecahkan segala persoalan yang menghadang.

Sebuah solusi yang mampu menjawab tantangan hidup tidak akan datang dengan sendirinya. Solusi itu harus dicari dengan memfokuskan tenaga dan pikiran.

Melontarkan jumroh sebanyak tiga kali juga wajib dikerjakan dalam ibadah haji. Ritual ini pada hakikatnya melempar batu yang menjadi simbolisasi syetan. Dalam Islam, syetan adalah musuh dalam kehidupan. Setan tidak hanya makhluk yang berupaya menggoda dan menggoyahkan keimana kita dengan bujuk rayunya, tapi harta benda, jabatan dan kedudukan dalam kehidupan sosial juga bisa merupakan perwujudan syetan. Ketika kita menyalah gunakan harta, jabatan dan kedudukan untuk berbuat kebathilan, maka pada dasarnya kita telah terjerumus ke dalam bisikan syetan. Jumroh mengajarkan kita untuk senantiasa bersiap dalam bertempur menghadapi syetan dan menolak rayuannya yang menjerumuskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar