Gunung Galunggung tercatat pernah
meletus pada tahun 1882 (VEI=5). Tanda-tanda awal letusan diketahui pada bulan
Juli 1822, di mana air Cikunir menjadi keruh dan berlumpur. Hasil pemeriksaan
kawah menunjukkan bahwa air keruh tersebut panas dan kadang muncul kolom asap
dari dalam kawah. Kemudian pada tanggal 8 Oktober s.d. 12 Oktober, letusan
menghasilkan hujan pasir kemerahan yang sangat panas, abu halus, awan panas,
serta lahar. Aliran lahar bergerak ke arah tenggara mengikuti aliran-aliran
sungai. Letusan ini menewaskan 4.011 jiwa dan menghancurkan 114 desa, dengan
kerusakan lahan ke arah timur dan selatan sejauh 40 km dari puncak gunung.
Letusan berikutnya terjadi pada
tahun 1894. Di antara tanggal 7-9 Oktober, terjadi letusan yang menghasilkan
awan panas. Lalu tanggal 27 dan 30 Oktober, terjadi lahar yang mengalir pada
alur sungai yang sama dengan lahar yang dihasilkan pada letusan 1822. Letusan
kali ini menghancurkan 50 desa, sebagian rumah ambruk karena tertimpa hujan
abu.
Letusan Galunggung 1982, disertai petir
Pada tahun 1918, di awal bulan Juli,
letusan berikutnya terjadi, diawali gempa bumi. Letusan tanggal 6 Juli ini
menghasilkan hujan abu setebal 2-5 mm yang terbatas di dalam kawah dan lereng
selatan. Dan pada tanggal 9 Juli, tercatat pemunculan kubah lava di dalam danau
kawah setinggi 85m dengan ukuran 560x440 m yang kemudian dinamakan gunung Jadi.
Letusan terakhir terjadi pada
tanggal 5 Mei 1982 (VEI=4) disertai suara dentuman, pijaran api, dan kilatan
halilintar. Kegiatan letusan berlangsung selama 9 bulan dan berakhir pada 8
Januari 1983. Selama periode letusan ini, sekitar 18 orang meninggal, sebagian
besar karena sebab tidak langsung (kecelakaan lalu lintas, usia tua, kedinginan
dan kekurangan pangan). Perkiraan kerugian sekitar Rp 1 milyar dan 22 desa
ditinggal tanpa penghuni.
Letusan pada periode ini juga telah
menyebabkan berubahnya peta wilayah pada radius sekitar 20 km dari kawah
Galunggung, yaitu mencakup Kecamatan Indihiang, Kecamatan Sukaratu, dan
Kecamatan Leuwisari. Perubahan peta wilayah tersebut lebih banyak disebabkan
oleh terputusnya jaringan jalan dan aliran sungai serta areal perkampungan
akibat melimpahnya aliran lava dingin berupa material batuan-kerikil-pasir.
Pada periode pasca letusan (yaitu sekitar tahun
1984-1990) merupakan masa rehabilitasi kawasan bencana, yaitu dengan menata
kembali jaringan jalan yang terputus, pengerukan lumpur/pasir pada beberapa
aliran sungai dan saluran irigasi (khususnya Cikunten I), kemudian dibangunnya
check dam (kantong lahar dingin) di daerah Sinagar sebagai 'benteng' pengaman
melimpahnya banjir lahar dingin ke kawasan Kota Tasikmalaya. Pada masa tersebut
juga dilakukan eksploitasi pemanfaatan pasir Galunggung yang dianggap
berkualitas untuk bahan material bangunan maupun konstruksi jalan raya. Pada
tahun-tahun kemudian hingga saat ini usaha pengerukan pasir Galunggung tersebut
semakin berkembang, bahkan pada awal perkembangannya (sekitar 1984-1985)
dibangun jaringan jalan Kereta Api dari dekat Station KA
Indihiang (Kp.
Cibungkul-Parakanhonje) ke check dam Sinagar sebagai jalur khusus untuk
mengangkut pasir dari Galunggung ke Jakarta. Letusannya juga membuat British
Airways Penerbangan 9 tersendat, di tengah jalan.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Gunung_Galunggung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar