“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kalian, sujudlah kalian, sembahlah Rabb kalian dan perbuatlah kebajikan, supaya kalian memperolah kemenangan” (Al-Hajj: 77)
Ada sebuah kisah tentang seorang musafir yang kehausan di padang pasir. Ia berjalan kesana kemari mencari air yang dapat menghilangkan rasa hausnya. Sampailah ia di sebuah bukit dengan batu-batu terjal. Dari sela-sela batu bukit ada air mengalir. Langsung saja ia menengadahkan tangannya untuk menampung air. Tapi tiba-tiba elang menyambar tangannya. Setiap kali akan menyiduk air, tiap kali itu pula elang menyambar dan menjatuhkan air di tangannya. Karena kesal maka elang yang sedang terbang di atas kepalanya itu dipukul dengan tongkat hingga jatuh di atas bukit batu. Ia naik ke atas bukit untuk memastikan mati tidaknya elang itu. Di situ, didekat tergeletaknya elang, ada bangkai ular yang dari mulutnya mengeluarkan bisa (racun) dan menetes ke air itu. Spontan saja ia kaget, ia tertegun beberapa menit. Ia sadar bahwa elang itu sebenarnya telah berupaya menyelamatkan jiwanya dari air yang mengandung racun ular. Demikianlah akhir sebuah kisah yang terdapat dalam buku Tafsir Sufi Al-Fatihah, karya Jalaluddin Rakhmat (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2000. Hal. 172)
Dalam setiap kisah pasti ada hikmah. Apa hikmah kisah tadi? Jika kita berani mengkaji dan menelaah dengan sebaik-baiknya, jelas bahwa muafir itu symbol manusia yang kurang pengetahuan tentang kebenaran. Dari kisah itu Ustadz Jalaluddin Rakhmat ingin menunjukkan adanya bentuk kebodohan atau jahil (aljaahilu) seseorang yang berprasangka buruk terhadap orang lain. Dan kita, di lingkungan kita, mungkin menemukan tipe-tipe seperti musafir itu. Salah satunya adalah mereka yang sering kali membabat, menyalahkan, dan bahkan mungkin menganggap sesat kepada mereka yang berbeda dengan kita. Hal itu terjadi akibat kurangnya pemahaman, tidak utuhnya informasi, dan belum lengkapnya pengetahuan. Persepsi yang keliru ini yang akan menjerumuskan kita ke dalam prasangka-prasangka buruk. Yang seharusnya, sebelum memutuskan atau menghakimi, alangkah baiknya mengkaji terlebih dahulu secara menyeluruh. Sebagaimana Allah SWT berfirman,
Ada sebuah kisah tentang seorang musafir yang kehausan di padang pasir. Ia berjalan kesana kemari mencari air yang dapat menghilangkan rasa hausnya. Sampailah ia di sebuah bukit dengan batu-batu terjal. Dari sela-sela batu bukit ada air mengalir. Langsung saja ia menengadahkan tangannya untuk menampung air. Tapi tiba-tiba elang menyambar tangannya. Setiap kali akan menyiduk air, tiap kali itu pula elang menyambar dan menjatuhkan air di tangannya. Karena kesal maka elang yang sedang terbang di atas kepalanya itu dipukul dengan tongkat hingga jatuh di atas bukit batu. Ia naik ke atas bukit untuk memastikan mati tidaknya elang itu. Di situ, didekat tergeletaknya elang, ada bangkai ular yang dari mulutnya mengeluarkan bisa (racun) dan menetes ke air itu. Spontan saja ia kaget, ia tertegun beberapa menit. Ia sadar bahwa elang itu sebenarnya telah berupaya menyelamatkan jiwanya dari air yang mengandung racun ular. Demikianlah akhir sebuah kisah yang terdapat dalam buku Tafsir Sufi Al-Fatihah, karya Jalaluddin Rakhmat (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2000. Hal. 172)
Dalam setiap kisah pasti ada hikmah. Apa hikmah kisah tadi? Jika kita berani mengkaji dan menelaah dengan sebaik-baiknya, jelas bahwa muafir itu symbol manusia yang kurang pengetahuan tentang kebenaran. Dari kisah itu Ustadz Jalaluddin Rakhmat ingin menunjukkan adanya bentuk kebodohan atau jahil (aljaahilu) seseorang yang berprasangka buruk terhadap orang lain. Dan kita, di lingkungan kita, mungkin menemukan tipe-tipe seperti musafir itu. Salah satunya adalah mereka yang sering kali membabat, menyalahkan, dan bahkan mungkin menganggap sesat kepada mereka yang berbeda dengan kita. Hal itu terjadi akibat kurangnya pemahaman, tidak utuhnya informasi, dan belum lengkapnya pengetahuan. Persepsi yang keliru ini yang akan menjerumuskan kita ke dalam prasangka-prasangka buruk. Yang seharusnya, sebelum memutuskan atau menghakimi, alangkah baiknya mengkaji terlebih dahulu secara menyeluruh. Sebagaimana Allah SWT berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka, karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan orang lain. Adakah seseorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka kamu tentu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah SWT. Sesungguhnya Allah SWT Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (Al-Hujurat: 12).
Jelaslah bahwa berprasangka buruk itu dilarang. Ibarat memakan daging saudaranya sendiri. Sungguh jijik dan tercelalah orang yang demikian. Dan kita sebagai muslim tidak boleh bertindak seperti kisah musafir diatas. Sebab orang yang berbuat sesuatu tanpa ilmu kebenaran (haqiqi) yang utuh dapat dikatakan jahil atau aljaahilu.
Lalu, bagaimana caranya agar terhindar dari sikap dan perilaku tersebut? Tentu kita harus tahu dulu apa jahil atau aljaahilu itu? Menurut Ustadz Jalaluddin Rakhmat, kata aljaahilu mengandung tiga makna. Pertama, orang yang termasuk jahil adalah yang mengambil keputusan (kesimpulan) tanpa disertai pengetahuan (ilmu); Kedua, adalah orang yang mempercayai sesuatu yang bukan sebenaranya (ghair haqiqi); dan Ketiga, adalah mereka yang bertindak dan melakuakan sesuatu atau memberikan keputusan sebelum cukup informasi.
Ketiga makna itu yang harus diantisipasi dan dihindari jauh-jauh dari kehidupan kita. Sebab sejak lima belas abad yang silam, Allah SWT telah berfirman,
Lalu, bagaimana caranya agar terhindar dari sikap dan perilaku tersebut? Tentu kita harus tahu dulu apa jahil atau aljaahilu itu? Menurut Ustadz Jalaluddin Rakhmat, kata aljaahilu mengandung tiga makna. Pertama, orang yang termasuk jahil adalah yang mengambil keputusan (kesimpulan) tanpa disertai pengetahuan (ilmu); Kedua, adalah orang yang mempercayai sesuatu yang bukan sebenaranya (ghair haqiqi); dan Ketiga, adalah mereka yang bertindak dan melakuakan sesuatu atau memberikan keputusan sebelum cukup informasi.
Ketiga makna itu yang harus diantisipasi dan dihindari jauh-jauh dari kehidupan kita. Sebab sejak lima belas abad yang silam, Allah SWT telah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan sesuatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebebkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (Al-Hujurat: 6)
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetauan tentangnya. Sesungghunya pendengaran, pengihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya” (Al-Isra’: 36)
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh” (Al-A’raff: 199)
Demikian pesan Allah SWT kepada kita. Maka pada konteks inilah kita harus mawas diri dengan sebaik-baiknyaagar terhindar dari perilaku dan sikap-sikap jahil diatas. Seperti yang disampaikan Rasulullah SAW bahwa bila berkaitan dengan agama sekiranya ada suatu keterangan datang kepadamu, bandingkanlah dengan keterangan (ayat-ayat) dalam Al-Quran. Bila hal itu sesuai dengannya, maka ambillah; dan bila bertentangan atau tidak sesuai dengannya, maka bunglah (Syekh Kulaini, Ushul Kahfi, jilid I, Hal.62). Begitu juga dalam kehidupan ini. Jika kita sedang beraktifitas mendapatkan informasi atau keterangan, haruslah berani melakukan konfirmasi ulang untuk mengecek kebenarannya. Kita harus melakukan check dan recheck (penyelidikan intensif) dengan sumbernya sebelum memutuskan segala sesuatunya. Juga kita harus mengedepankan akurasi atau ketepatan isi (matan/content) atas semua informasi yang sampai atau disampaikan orang kepada kita, dengan menghindari prasangka-prasangka buruk dan fitnah-fitnah.
Karena itu, seorang muslim atau muslimah wajib memiliki rasa ingin tahu (curiosity) yang tinggi dan selalu tidak puas dengan informasi yang secuil. Ia harus tekun, giat, terbuka dalam menerima segala informasi, dan bahkan perlu untuk diteliti kembali. Seperti yang dirumuskan KH. Abdullah Gymnastiar, bahwa segala informasi atau keterangan itu harus BAL (Benar, Akurat, dan Lengkap). Maka dengan menjalankan rumus itulah kita akan terhindar dari prasangka buruk yang diakibatkan atas ke-JAHIL-an kita. Inilah yang harus diperhatikan. Begitulah seharusnya seorang muslim dan muslimah bersikap bila tidak ingin disebut jahil.
Demikian pesan Allah SWT kepada kita. Maka pada konteks inilah kita harus mawas diri dengan sebaik-baiknyaagar terhindar dari perilaku dan sikap-sikap jahil diatas. Seperti yang disampaikan Rasulullah SAW bahwa bila berkaitan dengan agama sekiranya ada suatu keterangan datang kepadamu, bandingkanlah dengan keterangan (ayat-ayat) dalam Al-Quran. Bila hal itu sesuai dengannya, maka ambillah; dan bila bertentangan atau tidak sesuai dengannya, maka bunglah (Syekh Kulaini, Ushul Kahfi, jilid I, Hal.62). Begitu juga dalam kehidupan ini. Jika kita sedang beraktifitas mendapatkan informasi atau keterangan, haruslah berani melakukan konfirmasi ulang untuk mengecek kebenarannya. Kita harus melakukan check dan recheck (penyelidikan intensif) dengan sumbernya sebelum memutuskan segala sesuatunya. Juga kita harus mengedepankan akurasi atau ketepatan isi (matan/content) atas semua informasi yang sampai atau disampaikan orang kepada kita, dengan menghindari prasangka-prasangka buruk dan fitnah-fitnah.
Karena itu, seorang muslim atau muslimah wajib memiliki rasa ingin tahu (curiosity) yang tinggi dan selalu tidak puas dengan informasi yang secuil. Ia harus tekun, giat, terbuka dalam menerima segala informasi, dan bahkan perlu untuk diteliti kembali. Seperti yang dirumuskan KH. Abdullah Gymnastiar, bahwa segala informasi atau keterangan itu harus BAL (Benar, Akurat, dan Lengkap). Maka dengan menjalankan rumus itulah kita akan terhindar dari prasangka buruk yang diakibatkan atas ke-JAHIL-an kita. Inilah yang harus diperhatikan. Begitulah seharusnya seorang muslim dan muslimah bersikap bila tidak ingin disebut jahil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar